take it easy, so life will be

Menyadari bahwa saat ini saya hanya ingin membuat hidup saya terasa lebih fun, maka sayalah yang harus membuatnya seperti itu. It's no kidding, you are what you want, you are what you say, you are what you eat, and you are what you be.

28 November 2007

ABSTRAK


sebuah cerpen karya: Farikha A.
Anak lelaki itu terduduk di pinggir lapangan sepak bola. Seorang lelaki yang sebaya denganku.




Ia tidak berubah. Raut wajahnya, tegap badannya, dan rambutnya yang tebal ditata berantakan, membuatku langsung mendapati sosoknya yang sedang tertawa-tawa dengan kawan-kawannya.


Banyak teman, seperti biasa.


Kemudian ia berdiri. Berjalan menelusuri tepi lapangan, tepat dua meter di depanku. Kukerahkan keberanian untuk memanggilnya.


"Dhani!" panggilan pertama, tak berhasil. Karena suaraku tertahan oleh cekat di kerongkonganku.


"Dhani!" panggilan kedua, dan ia menoleh. Menyadari keberadaanku tepat dua meter di hadapannya. Entah bagaimana reaksinya saat itu.

Dan aku melambaikan tangan padanya. Berusaha untuk tersenyum layaknya kawan lama.



* * *


"Dhani! Jangan mulai lagi, ya!" ujar Pak Guru pada Dhani yang duduk di depanku. Dalam sekejap Dhani langsung memasang aksi salah tingkah.


"Iya, Pak, maaf, Pak" ujarnya dengan nada lucu yang membuat kami semua di kelas terkikik geli.

"Kena lagi, deh, lu!" ledek teman sebangku Dhani, Ardha.

"Hahaha...! Rasain!" kata Sara, teman sebangkuku.

Aku hanya diam cemberut. Karena sesaat yang lalu Dhani berbuat jahil padaku sehingga ia dimarahi Pak Guru.

"Duh, Risa... cuma gitu aja cemberut" ledek Dhani padaku.
Begitulah dia. Seorang Dhani yang entah kenapa sejak pertama kali kami mengenalnya, selalu berbuat keisengan terutama padaku.

Entah angin apa yang membawa kami berempat malah menjadi sahabat dekat. Terutama dengan Dhani, yang walaupun jahil, tapi pribadinya dingin dan cuek. Yang walaupun konyol, sosoknya terlihat cool dan menjadi idaman cewek-cewek adik kelas. Yang walaupun sedikit kasar, bisa berubah menjadi sosok yang lembut dan perhatian.

Ia terlihat menyesuaikan diri menjadi apa yang orang lain, terutama orang terdekatnya, inginkan, atau bayangkan tentangnya. Ia bisa menjadi si ini, dan ia bisa menjadi si itu.

Orang aneh yang tidak ketahuan apa yang dipikirkannya, apa maunya, apa maksudnya. Itulah Dhani yang kukenal.

Sampai suatu waktu, ia melakukan hal yang jahat, kepada salah satu sahabat kami, yang juga adalah sahabatnya.

Ia melukai sahabatnya sendiri.

Dengan sengaja.

Sesuatu yang bagi beberapa remaja SMP disebut pengkhianatan.

Ia tidak lagi dianggap sebagai salah satu dari kami. Sampai kini kami terpisah oleh SMA yang berbeda-beda. Tidak ada yang membicarakannya lagi. Seakan tidak pernah ada Dhani di kehidupan kami.

Tapi tidak bagiku. Aku selalu mengingatnya. Mengingatnya, ketika melihat benda-benda kesukaannya. Mengingatnya, ketika melihat orang-orang yang mirip dengannya. Mengingatnya, akan kelembutan dan perhatian yang tidak seberapa dalam hal kuantitas, namun berarti bagiku.

Menurutku Dhani memiliki alasan dibalik semua tindakannya, dibalik semua kedoknya. Ia bagaikan sebuah lukisan abstrak, yang menjadi seperti apa yang orang lain inginkan, seperti apa yang orang lain bayangkan. Memiliki banyak arti, memiliki banyak maksud. Yang berbeda-beda ditafsirkan setiap orang. Entah itu membuat mereka senang, entah itu membuat mereka benci.

Namun bagiku, ia lebih dari lukisan abstrak. Ia adalah orang yang kusukai, sejak lama. Bahkan hingga kini kami terpisah di tempat yang berbeda, lebarnya jarak makin membuat perasaanku padanya kian membesar. Keabstrakkannya menarik rasa penasaranku, yang berkembang menjadi perhatian, kemudian cinta.

Sampai saat ini, beberapa kali kuhubungi dia melalui pesan singkat telepon genggam. Menceritakannya tentang keadaanku, seperti dulu pernah kucurahkan hatiku padanya. Dan ia peduli. Kuberitahu padanya kabar kawan-kawan kami yang lain. Namun untuk hal ini ia tidak terlalu peduli.

Kukerahkan keberanianku untuk mengunjunginya di sekolahnya. Dengan penuh harapan akan sesuatu yang bahkan tak kuketahui apa itu. Selain hanya untuk bertemu dengannya, sekali lagi.



* * *

Dhani hanya menoleh sedikit untuk melihatku. Raut wajahnya dingin, tidak menunjukkan reaksi apapun selain anggukkan lemah sebagai balasan atas senyum dan lambaianku yang kupaksakan sebaik mungkin.

Kenapa? Pertanyaan itu terus berputar di benakku. Padahal selama ini kukira keadaan berjalan baik-baik saja. Perhatian yang ia tunjukkan melalui pesan singkat di telepon genggam. Ternyata pada kenyataannya tidak lebih dari anggukkan dingin, dan mata yang hanya melirikku sekilas.

Aku terbangun dari ketertegunanku. Mengangkat kakiku yang terasa berat untuk dibawa melangkah. Berjalan pulang karena tidak ada yang bisa kudapat dari pertemuan kami kali ini.

Dhani... orang aneh yang tidak ketahuan apa yang dipikirkannya, apa maunya, apa maksudnya.

Ia adalah lukisan abstrak sejati, yang bahkan ketika kutorehkan kuasan cat di atasnya, tidak akan menjadi lukisan yang jelas, melainkan tetap sebuah lukisan abstrak.

Tapi saat ini, detik ini, bukanlah tentang lukisan abstrak yang ingin kupikirkan. Melainkan diriku, perasaanku, rasa sayangku pada Dhani.

Aku terus berjalan pulang. Menapakkan kaki dengan langkah-langkah yang berat. Tak ada air mata, melainkan hanya rasa sesak di dada, dan rasa sakit di hati.





Selesai

No comments: