take it easy, so life will be

Menyadari bahwa saat ini saya hanya ingin membuat hidup saya terasa lebih fun, maka sayalah yang harus membuatnya seperti itu. It's no kidding, you are what you want, you are what you say, you are what you eat, and you are what you be.

26 April 2011

Level kehidupan

Barusan kepikiran di benak gw, bahwa mungkin dalam hidup ini, berada di tengah-tengah masyarakat ini, mungkin ada yang dinamakan dengan level kehidupan.

Yang gw maksud di sini, bukan level atas pendapatan, atau pendidikan semata, melainkan level kondisi secara keseluruhan, nilai kesiapan sebuah kelompok masyarakat yang bisa dilihat kadarnya dan menentukan level dari masyarakat itu sendiri.

Dengan kata lain, tingkat kematangan suatu kelompok masyarakat.

Gw nggak berniat melakukan pidato mengenai topik ini, cuma mendadak bertanya-tanya secara retorik, berandai-andai, membayangkan, berimajinasi, bahwa terdapat level kehidupan dalam masyarakat.

Pemikiran ini mendadak muncul cuma karena gw kepikiran bagaimana negeri ini, negeri gw yang tercinta ini, kalau dibandingkan dengan negara lain, banyak sekali hal-hal yang perlu dievaluasi, dan banyak sekali hal-hal yang tertinggal.

Contoh gampangnya:
Bandingkan masyarakat Indonesia saat ditimpa musibah bencana alam, dan masyarakat Jepang saat ditimpa musibah bencana alam.

Contoh lebih gampang lagi:
Bandingkan panggung konser musik di Indonesia dengan panggung konser musik di luar negeri. *dari daya tampung, sama kecanggihan alat serta lampu-lampu dan efek-efeknya aja udah beda kasta banget.*kenapa konser? karena baru2 ini gw bersama teman-teman sedang mengeluhkan musisi-musisi yang nggak bisa konser di Indonesia karena keterbatasan performa panggung yang nggak bisa memadai kebutuhan musisinya.

Sampai gw bertanya-tanya, kapan ya... Indonesia bisa jadi kayak begitu? Kapan, ya, Indonesia bisa naik derajat untuk hal-hal itu? Kapan, ya? Dan seterusnya gw bertanya-tanya: Kapan, ya?

Lalu gw bertanya-tanya lagi... "mungkin nggak, ya?"

Dan ketika pertanyaan retorik tersebut muncul, yang terpikirkan hanya pernyataan retorik berikutnya: "Mungkin memang akan berbeda terus levelnya, mungkin memang harus ada perbedaan level antara negara-negara dan masyarakat-masyarakat satu sama lain, mungkin memang ada level kehidupan"

*sigh

Kotak telepon ini cuma pajangan shooting di Kota Tua suatu hari.
Feels so fake for me...

Kita kehilangan orisinalitas, semua yang sekarang tampak sebagai hal-hal yang fantastis terasa dipaksakan demi mengejar level negeri lain. Padahal untuk meningkatkan level bukan berarti mengikuti cara masyarakat lain mencapai level mereka, tapi mencari potensi masyarakat sendiri dan melatihnya, mengembangkannya, sehingga kita berada di level yang sama dengan keunikan tersendiri.

Ke mana budaya asli kita? Mau dikemanakan segala hal yang telah mendarah daging tersebut?

No comments: